Selasa, 17 Desember 2013

SEJARAH SINGKAT DESA ASTANAJAPURA
Diangkat dari cerita para sesepuh Desa Astanajapura
Ditulis oleh Mohamad Said, S.Ag.


Pada awalnya Desa Astanajapura merupakan sebuah padukuhan yang berada di naungan wilayah Kerajaan Medang Kamulyan dengan rajanya bernama Handahiyang dan senopatinya Amuk Marugul yang peninggalan keratonnya sekarang masuk pada wilayah Desa Japura Kidul Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.

Senopati Kerajaan Medang Kamulyan, yakni Senopati Amuk Marugul sangat kental dengan orang yang sakti mandra guna, sehingga dengan kesaktiannya ia akhirnya lupa akan dirinya dan dalam mendampingi Raja Handahiyang memerintah dengan semena-mena dan dengan penuh keangkaramurkaan. Akhirnya di kerjaan tersebut terjadilah kehancuran moral.

Melihat keadaan yang demikian, maka raja Handahiyang berfikir serius dengan para petinggi kerajaan serta mengajak keponakannya yang juga putra mahkota pajajaran yakni Pangeran Gagak Lumayung untuk mencari solusi bagaimana menghentikan keangkaramurkaan yang timbul akibat ulah ki Amuk Marugul tersebut. Dan diperolehlah solusi atas musyawarah tersebut dengan cara mengadakan sayembara, yakni sayembara mencari jodoh anaknya (anak raja Handahiyang) karena pada saat itu anak sang raja sudah saatnya/umurnya sudah pantas berkeluarga.

Sayembara tersebutpun diumumkan keseluruh penjuru bangsa, Sang Raja Handahiyang berkenan mengadakan sayembara putrinya bahwa barangsiapa yang menang dalam sayembara akan dinikahkan dengan putrinya dan kelak dinobatkan sebagai penggantinya. Dan saat sayembara diadakan, Ki Amuk Marugul ikut serta dan dalam pertandingannya ia selalu menang, tidak ada tandingannya.

Dengan di dorong rasa tanggungjawabnya baik selaku kesatria juga sebagai keponakan sang raja dan keadaan masyarakat yang sudah bobrok moral akibat Ki Amuk Marugul, maka Pangeran Gagak Lumayung yang masyarakat sekitar mengenalnya dengan sebutan Pangeran Sindang Garuda tidak terima dengan keadaan tersebut, maka beliau ikut serta bertanding di kancah sayembara itu dan diseranglah Senopati Amuk Marugul dan terjadilah perang tanding antara Senopati Amuk Marugul dengan pangeran Gagak Lumayung.

Dan dalam pertempuran tersebut Senopati Amuk Marugul dapat dipukul mundur sampai ia berlari ke daerah pesisir timur wilayah kerajaan yakni di Desa Rawaurip Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon dan berubah wujud menjadi Belut Putih, kemudian masuk ke dalam sumur yakni “Sumur Lumer” dan sumur tersebut sampai sekarang masih ada.

Keterangan lain bahwa Senopati Amuk Marugul tersebut larinya ke ujung pesisir Kabupaten Cirebon yakni di Kecamatan Losari Desa Tawangsari (sekarang) dan berubah wujud menjadi buaya putih, dan menurut cerita mistik yang berkembang jika ada penggedug Desa Astanajapura kesana maka muncullah buaya putih itu yang merupakan perwujudan Senopati Amuk Marugul yang belum puas atas kekalahan dari Pangeran Gagak Lumayung.

Dari kekalahan Senopati Amuk Marugul atas Pangeran Gagak Lumayung maka terbebaskanlah Kerajaan Medang Kamulyan dari kehancuran dan akhirnya dinobatkanlah Pangeran tersebut menjadi Raja di kerajaan tersebut tetapi nama kerajaan diganti menjadi “Kerajaan Japura”.

Nama Japura sendiri diambil dari ucapan Ki Nuhun yang ternyata adalah Sunan Gunung Jati ketika ia marah kepada masyarakat kerajaan kala itu, karena pada saat itu mereka Islam-nya penuh kepura-pura-an yakni kalau ada Ki Nuhun mereka pura-pura islam tetapi ternyata apabila tidak ada Ki Nuhun mereka berperilaku tidak Islami seperti pesta minum-minuman keras, makan daging babi dan lain-lain. Bahkan konon kepala babinya mereka gantungkan di serambi mesigitnya (=masjidnya) maka spontan Ki Nuhun Marah dengan kalimatnya bahwa Islam itu “Ja pura-pura” dan menendang masjid agar tidak di kotori oleh hal-hal yang dilarang agama sampai masjid itu terlempar ke laut kidul yakni di Nusakambangan, tepatnya di Kecamatan Pembantu Laut Kabupaten Cilacap dengan nama “Mesigit Sela” namun mesigit tersebut tidak digunakan untuk sholat jum’at tetapi hanya tempat ziarah saja.

Sedangkan sumur dari masjid itu sampai sekarang masih tetap berada di tempat semula yakni sekarang masuk dalam wilayah Desa Japura Lor Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon, dengan nama “Sumur Mesigit Lawas”.

Dari perkataan Ki Nuhun inilah yang kemudian menjadi nama sebuah kerajaan yakni “Kerajaan Japura”. Karena perlu diketahui pada saat jatuhnya kerajaan Medang Kamulyan oleh Pangeran Gagak Lumayung, pada saat itu pula pengaruh Islam yang dibawah oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) telah masuk ke wilayah tersebut dengan bukti beliau telah mendirikan “Mesigit” (=masjid) sebagai tempat pendidikan dan ibadahnya. Bahkan sampai dua kali yakni pertama “mesigit Lawas” yang ditendang ke pulau Nusakambangan, yang kedua “Mesigit Kramat” yang juga akhirnya disepak dengan sikilnya (=kakinya) karena menganggapnya bahwa mesigit (masjid) ditempat itu kurang manfaat, sehingga akhirnya tempat/blok itu dinamai “Blok Singkil” (Sekarang masuk wilayah Desa Astanajapura). Dan mesigit kramat tersebut bergeser ke timur, sehingga akhirnya tempat/blok tempat baru mesigit tersebut dinamai “Blok Karang Mesigit” (sekarang masuk wilayah desa Japurakidul) dan mesigitnya sekrang bernama “Masjid Al-Karomah”.

Sedangkan sumur dan bak air serta gayung dari Mesigit Kramat yang semuanya terbuat dari emas diinjak oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) sehingga semuanya hilang. Tetapi menurut cerita masyarakat sekitar bahwa sumur, bak dan gayung mesigit tersebut kadang muncul, namun kepada orang yang dikehendaki saja.

Dan setelah Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) wafat dan dengan semakin padatnya penduduk serta berkembang nya sistem tata pemerintahan yang dikembangkan oleh Ki Nuhun, maka wilayah kerajaan Japura di ubah menjadi bukan lagi tata kerajaan tetapi sistem padukuhan yang dikepalai oleh seorang Kuwu. Perubahan dan pemekaran tersebut terjadi pada tahun 1813 M, bahwa wilayah pusat pemerintahan kerjaan Japura dibagi tiga padukuhan yakni Padukuhan Astanajapura, Japura Lor dan Japura Kidul.

Menurut keterangan yang diperoleh dari para sesepuh bahwa nama “Astanajapura” sendiri diambil dari perpaduan kata “Astana” yang berarti Kuburan dan “Japura” yang berarti merujuk ke Kerajaan Japurakarena dulu kerajaan Japura hanya mempunyai satu astana (=kuburan) yakni kuburan yang sekarang terbawa dalam wilayah Desa Astanajapura sehingga para raja dan penggedug/Ki Geden Japura seperti Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) di kala wafat di kuburnya di astana (=kuburan tersebut).

Sedangkan menurut keterangan lain bahwa “Astanajapura” diambil dari kata “astana” dan kata “asta” yang berarti “tangan/kekuasaan/penguasa” dan “Japura” berarti merujuk ke Kerajaan Japura. Hal ini karena katanya Raja Kerajaan Japura wafat dan dikuburnya yakni Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda). Sekarang padukuhan ini menjadi sebuah desa yakni “Desa Astanajapura”. Pangeran Sindang Garuda wafat di Astanajapura dan persemayaman terakhir di Maqbaroh Desa Astanajapura Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon-Jawa Barat.

Dalam memimpin pemerintahannya Pangeran Sindang Garuda didampingi oleh penasehat spiritualnya Syech Abdullah Iman yang kerap disebut oleh masyarakat Syceh Abdul Iman juga di dampingi oleh kaula yang sangat setia yaitu Siti Fatimah (=Nyi Ratu Ganda). Dan karena beliau-beliau ini walaupun memimpin pemerintahan juga telah masuk Islam dan berkapasitas sebagai ulama-ulama besar maka sekarang masyarakat banyak berziarah di tempat maqburoh guna mencari berkahnya.

Dalam perjalanan sistem pemerintahan padukuhan ini menjadi sebuah desa dengan nama Desa Astanajapura yang dikepalai oleh seorang Kuwu (Kepala Desa) dengan susunan kuwu dari yang pertama sampai sekarang yang kami ketahui sebagai berikut :

1.      Kuwu Bontar (1813 – 1840)
2.      Kuwu Nasitrem (1840 – 1858)
3.      Kuwu Teja (1858 – 1887)
4.      Kuwu Indris (1887 – 1917)
5.      Kuwu H. Mansur (1917 – 1925)
6.      Kuwu Asban (dikenal dengan Kuwu Jariyah) (1925 – 1941)
7.      Kuwu Taryan (1941 – 1947)
8.      Kuwu Kusen R. (1947 – 1948)
9.      Kuwu Karsih (H. Abdul Manan) (1948 – 1954)
10.  Kuwu Caya (1954 – 1965)
11.  Pj. Kuwu Mad Jai (1965 – 1967)
12.  Kuwu H. Moh. Kosim (1967 – 1985)
13.  Kuwu Asmudi (1985 – 1994)
14.  Pj. Kuwu Moh. Rusdi (1994 – 1995)
15.  Kuwu Rosidi Hasan (1995 – 2003)
16.  Kuwu Udin Khaerudin (2003 – 2010)
17.  Pj. Kuwu Mohamad Said, S.Ag. (2010 – 2011)
18.  Kuwu Misjabudin (2011 – sekarang)

Dengan kearifan Syech Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam menyebarkan Islam ke Desa Astanajapura yang terlebih dahulu dimasuki oleh agama Hindu, beliau tidak serta merta menghilangkan kebiasaan yang berada dimasyarakat saat itu. Sehingga sekarang di Desa Astanajapura banyak terdapat adat istiadat yang ditinggalkan. Adapun kebiasaan (kebudayaan) perpaduan Hindu – Islam yang masih ada sampai sekarang di Desa Astanajapura antara :
1. Sedekah Bumi
Sedekah bumi merupakan simbol dari rasa syukur dari hasil bumi yang melimpah, dan biasanya di lakukan atau pelaksanaannya tiap tahun atau merupakan tradisi tahunan
2. Mapag Sri
Mapag Sri adalah salah satu adat/budaya masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Mahaesa. Mapag Sri apabila ditilik dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.
3. Buka Tana
4. Nuju Bulan
Upacara Tingkeban atau Nuju Bulan adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut jugamitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
5. Mudun Lemah
Mudun lemah, demikian orang Jawa menyebut tradisi tersebut. Sebuah tradisi yang dilakukan orang tua untuk mengenalkan anak tercintanya yang berusia tujuh bulan kepada bumi. Mengiringi itu, kedua orang tua berharap anaknya mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan.
6. Puputan
Upacara puputan yaitu upacara yang dilaksanakan pada waktu seorang bayi terlepas ari-arinya dari sendi usus perut atau istilahhnya coplok/puput. Maksud dan tujuan upacara Puputan adalah untuk memberi nama pada bayi yang baru terlepas ari-arinya.

Kebudayaan tersebut di atas masih dilakukan oleh masyarakat Desa Astanajapura, namun telah terpengaruh oleh kebudayaan Islam sehingga caranya pun berubah yakni dengan dibacakan do’a kalimat toyibah.


Rabu, 30 Oktober 2013

puisi motivasi

Katakan yah…


Bila engkau merasa senang
Katakan yah…
Bila engkau  merasa nyaman
Katakan yah…
Bila engkau merasa bangga
katakan yah…
bila engkau merasa bahagia
katakan yah…
tapi…………
bila engkau merasa sedih
katakan tidak!!!
bila engkau merasa sulit
katakan tidak!!!
bila engkau merasa putus asa
katakan tidak!!!
bila engkau merasa galau
katakan tidakkk!!!
karena……….
hidup itu tegas
hidup itu tak kenal siapapun
hidup itu keras
dan………….
karena……….
hidup adalah sebuah pilihan

nahwuku

penjelasan singkat tentang kalam


الكلام
الكلم هو اللفظ المر كب المفيد بالوضع
kalam adalah lafadz yang tersusun yang berfaedah dengan menggunakan bahasa arab
اللفظ هو الصوت المشتمل على بعض حروف الهجا ئيّه
lafadz adalah suara yang mencakup sebagian dari huruf hijaiyah
المركب هو ما تٌرٌكّب من كلمتين فاكثر
murakkab adalah lafadz yang tersusun dari dua kalimat atau lebih
نحو : زيد قائم
المفيد هو ما ا نا د فا ئدة يهسن السكون عند السامع
الوضع : القصد و لغة العرب

Senin, 28 Oktober 2013

puisiku

Antara suka dan cinta
Saat pertama bertemu
Ada rasa yang begitu aneh
Apakah itu cinta ataukah hanya sebatas suka
Saat memandangnya dari jarak jauh
Ada keindahan yang begitu nyata
Apakah itu cinta ataukah hanya sebatas suka
Saat ada  didekatnya
Ada getaran dalam dada yang begitu kencang
Apakah itu cinta ataukah hanya sebatas suka

Jika itu cinta
Mengapa tak pernah mengungkapkannya
Jika itu cinta
Mengapa tak pernah berani berkorban untuknya
Dan jika itu cinta
Mengapa tak pernah peduli padanya

Mungkinkah itu hanya sebatas suka
Yang hanya bisa melihatnya dari jarak jauh
Mungkinkah itu hanya sebatas suka
Yang tidak akan pernah bisa memilikinya
Mungkinkah itu hanya sebatas suka
Yang pada akhirnya ia akan meninggalkanmu untuk selama-lamanya