SEJARAH
SINGKAT DESA ASTANAJAPURA
Diangkat dari cerita para
sesepuh Desa Astanajapura
Ditulis oleh Mohamad Said,
S.Ag.
Pada awalnya
Desa Astanajapura merupakan sebuah padukuhan yang berada di naungan wilayah
Kerajaan Medang Kamulyan dengan rajanya bernama Handahiyang dan senopatinya
Amuk Marugul yang peninggalan keratonnya sekarang masuk pada wilayah Desa
Japura Kidul Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon.
Senopati
Kerajaan Medang Kamulyan, yakni Senopati Amuk Marugul sangat kental dengan
orang yang sakti mandra guna, sehingga dengan kesaktiannya ia akhirnya lupa
akan dirinya dan dalam mendampingi Raja Handahiyang memerintah dengan
semena-mena dan dengan penuh keangkaramurkaan. Akhirnya di kerjaan tersebut
terjadilah kehancuran moral.
Melihat
keadaan yang demikian, maka raja Handahiyang berfikir serius dengan para
petinggi kerajaan serta mengajak keponakannya yang juga putra mahkota pajajaran
yakni Pangeran Gagak Lumayung untuk mencari solusi bagaimana menghentikan
keangkaramurkaan yang timbul akibat ulah ki Amuk Marugul tersebut. Dan
diperolehlah solusi atas musyawarah tersebut dengan cara mengadakan sayembara,
yakni sayembara mencari jodoh anaknya (anak raja Handahiyang) karena pada saat
itu anak sang raja sudah saatnya/umurnya sudah pantas berkeluarga.
Sayembara
tersebutpun diumumkan keseluruh penjuru bangsa, Sang Raja Handahiyang berkenan
mengadakan sayembara putrinya bahwa barangsiapa yang menang dalam sayembara
akan dinikahkan dengan putrinya dan kelak dinobatkan sebagai penggantinya. Dan
saat sayembara diadakan, Ki Amuk Marugul ikut serta dan dalam pertandingannya
ia selalu menang, tidak ada tandingannya.
Dengan
di dorong rasa tanggungjawabnya baik selaku kesatria juga sebagai keponakan
sang raja dan keadaan masyarakat yang sudah bobrok moral akibat Ki Amuk
Marugul, maka Pangeran Gagak Lumayung yang masyarakat sekitar mengenalnya
dengan sebutan Pangeran Sindang Garuda tidak terima dengan keadaan tersebut,
maka beliau ikut serta bertanding di kancah sayembara itu dan diseranglah
Senopati Amuk Marugul dan terjadilah perang tanding antara Senopati Amuk
Marugul dengan pangeran Gagak Lumayung.
Dan
dalam pertempuran tersebut Senopati Amuk Marugul dapat dipukul mundur sampai ia
berlari ke daerah pesisir timur wilayah kerajaan yakni di Desa Rawaurip
Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon dan berubah wujud menjadi Belut Putih,
kemudian masuk ke dalam sumur yakni “Sumur Lumer” dan sumur tersebut sampai
sekarang masih ada.
Keterangan
lain bahwa Senopati Amuk Marugul tersebut larinya ke ujung pesisir Kabupaten
Cirebon yakni di Kecamatan Losari Desa Tawangsari (sekarang) dan berubah wujud
menjadi buaya putih, dan menurut cerita mistik yang berkembang jika ada
penggedug Desa Astanajapura kesana maka muncullah buaya putih itu yang
merupakan perwujudan Senopati Amuk Marugul yang belum puas atas kekalahan dari
Pangeran Gagak Lumayung.
Dari
kekalahan Senopati Amuk Marugul atas Pangeran Gagak Lumayung maka
terbebaskanlah Kerajaan Medang Kamulyan dari kehancuran dan akhirnya
dinobatkanlah Pangeran tersebut menjadi Raja di kerajaan tersebut tetapi nama
kerajaan diganti menjadi “Kerajaan Japura”.
Nama
Japura sendiri diambil dari ucapan Ki Nuhun yang ternyata adalah Sunan Gunung
Jati ketika ia marah kepada masyarakat kerajaan kala itu, karena pada saat itu
mereka Islam-nya penuh kepura-pura-an yakni kalau ada Ki Nuhun mereka pura-pura
islam tetapi ternyata apabila tidak ada Ki Nuhun mereka berperilaku tidak
Islami seperti pesta minum-minuman keras, makan daging babi dan lain-lain.
Bahkan konon kepala babinya mereka gantungkan di serambi mesigitnya
(=masjidnya) maka spontan Ki Nuhun Marah dengan kalimatnya bahwa Islam itu “Ja
pura-pura” dan menendang masjid agar tidak di kotori oleh hal-hal yang dilarang
agama sampai masjid itu terlempar ke laut kidul yakni di Nusakambangan,
tepatnya di Kecamatan Pembantu Laut Kabupaten Cilacap dengan nama “Mesigit
Sela” namun mesigit tersebut tidak digunakan untuk sholat jum’at tetapi hanya
tempat ziarah saja.
Sedangkan
sumur dari masjid itu sampai sekarang masih tetap berada di tempat semula yakni
sekarang masuk dalam wilayah Desa Japura Lor Kecamatan Pangenan Kabupaten
Cirebon, dengan nama “Sumur Mesigit Lawas”.
Dari
perkataan Ki Nuhun inilah yang kemudian menjadi nama sebuah kerajaan yakni
“Kerajaan Japura”. Karena perlu diketahui pada saat jatuhnya kerajaan Medang
Kamulyan oleh Pangeran Gagak Lumayung, pada saat itu pula pengaruh Islam yang
dibawah oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) telah masuk ke wilayah tersebut
dengan bukti beliau telah mendirikan “Mesigit” (=masjid) sebagai tempat
pendidikan dan ibadahnya. Bahkan sampai dua kali yakni pertama “mesigit Lawas”
yang ditendang ke pulau Nusakambangan, yang kedua “Mesigit Kramat” yang juga
akhirnya disepak dengan sikilnya (=kakinya) karena menganggapnya bahwa mesigit
(masjid) ditempat itu kurang manfaat, sehingga akhirnya tempat/blok itu dinamai
“Blok Singkil” (Sekarang masuk wilayah Desa Astanajapura). Dan mesigit kramat
tersebut bergeser ke timur, sehingga akhirnya tempat/blok tempat baru mesigit
tersebut dinamai “Blok Karang Mesigit” (sekarang masuk wilayah desa
Japurakidul) dan mesigitnya sekrang bernama “Masjid Al-Karomah”.
Sedangkan
sumur dan bak air serta gayung dari Mesigit Kramat yang semuanya terbuat dari
emas diinjak oleh Ki Nuhun (Sunan Gunung Jati) sehingga semuanya hilang. Tetapi
menurut cerita masyarakat sekitar bahwa sumur, bak dan gayung mesigit tersebut
kadang muncul, namun kepada orang yang dikehendaki saja.
Dan
setelah Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda) wafat dan dengan
semakin padatnya penduduk serta berkembang nya sistem tata pemerintahan yang
dikembangkan oleh Ki Nuhun, maka wilayah kerajaan Japura di ubah menjadi bukan
lagi tata kerajaan tetapi sistem padukuhan yang dikepalai oleh seorang Kuwu.
Perubahan dan pemekaran tersebut terjadi pada tahun 1813 M, bahwa wilayah pusat
pemerintahan kerjaan Japura dibagi tiga padukuhan yakni Padukuhan Astanajapura,
Japura Lor dan Japura Kidul.
Menurut keterangan yang diperoleh dari para sesepuh bahwa
nama “Astanajapura” sendiri diambil dari perpaduan kata “Astana” yang
berarti Kuburan dan “Japura” yang berarti merujuk ke Kerajaan
Japurakarena dulu kerajaan Japura hanya mempunyai satu astana (=kuburan)
yakni kuburan yang sekarang terbawa dalam wilayah Desa Astanajapura sehingga
para raja dan penggedug/Ki Geden Japura seperti Pangeran Gagak Lumayung
(Pangeran Sindang Garuda) di kala wafat di kuburnya di astana (=kuburan
tersebut).
Sedangkan
menurut keterangan lain bahwa “Astanajapura” diambil dari kata “astana” dan
kata “asta” yang berarti “tangan/kekuasaan/penguasa” dan “Japura” berarti
merujuk ke Kerajaan Japura. Hal ini karena katanya Raja Kerajaan Japura wafat
dan dikuburnya yakni Pangeran Gagak Lumayung (Pangeran Sindang Garuda).
Sekarang padukuhan ini menjadi sebuah desa yakni “Desa Astanajapura”. Pangeran
Sindang Garuda wafat di Astanajapura dan persemayaman terakhir di Maqbaroh Desa
Astanajapura Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon-Jawa Barat.
Dalam
memimpin pemerintahannya Pangeran Sindang Garuda didampingi oleh penasehat
spiritualnya Syech Abdullah Iman yang kerap disebut oleh masyarakat Syceh Abdul
Iman juga di dampingi oleh kaula yang sangat setia yaitu Siti Fatimah (=Nyi
Ratu Ganda). Dan karena beliau-beliau ini walaupun memimpin pemerintahan juga
telah masuk Islam dan berkapasitas sebagai ulama-ulama besar maka sekarang
masyarakat banyak berziarah di tempat maqburoh guna mencari berkahnya.
Dalam
perjalanan sistem pemerintahan padukuhan ini menjadi sebuah desa dengan nama
Desa Astanajapura yang dikepalai oleh seorang Kuwu (Kepala Desa) dengan susunan
kuwu dari yang pertama sampai sekarang yang kami ketahui sebagai berikut :
1. Kuwu
Bontar (1813 – 1840)
2. Kuwu
Nasitrem (1840 – 1858)
3. Kuwu
Teja (1858 – 1887)
4. Kuwu
Indris (1887 – 1917)
5. Kuwu
H. Mansur (1917 – 1925)
6. Kuwu
Asban (dikenal dengan Kuwu Jariyah) (1925 – 1941)
7. Kuwu
Taryan (1941 – 1947)
8. Kuwu
Kusen R. (1947 – 1948)
9. Kuwu
Karsih (H. Abdul Manan) (1948 – 1954)
10. Kuwu
Caya (1954 – 1965)
11. Pj.
Kuwu Mad Jai (1965 – 1967)
12. Kuwu
H. Moh. Kosim (1967 – 1985)
13. Kuwu
Asmudi (1985 – 1994)
14. Pj.
Kuwu Moh. Rusdi (1994 – 1995)
15. Kuwu
Rosidi Hasan (1995 – 2003)
16. Kuwu
Udin Khaerudin (2003 – 2010)
17. Pj.
Kuwu Mohamad Said, S.Ag. (2010 – 2011)
18. Kuwu
Misjabudin (2011 – sekarang)
Dengan
kearifan Syech Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dalam menyebarkan Islam
ke Desa Astanajapura yang terlebih dahulu dimasuki oleh agama Hindu, beliau
tidak serta merta menghilangkan kebiasaan yang berada dimasyarakat saat itu.
Sehingga sekarang di Desa Astanajapura banyak terdapat adat istiadat yang
ditinggalkan. Adapun kebiasaan (kebudayaan) perpaduan Hindu – Islam yang masih
ada sampai sekarang di Desa Astanajapura antara :
1.
Sedekah Bumi
Sedekah
bumi merupakan simbol dari rasa syukur dari hasil bumi yang melimpah, dan
biasanya di lakukan atau pelaksanaannya tiap tahun atau merupakan tradisi
tahunan
2.
Mapag Sri
Mapag Sri adalah salah satu adat/budaya
masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan
untuk menyambut datangnya panen raya sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Mahaesa. Mapag
Sri apabila ditilik dari bahasa Jawa halus mengandung arti menjemput padi. Dalam
bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput, sedangkan sri dimaksudkan
sebagai padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.
3.
Buka Tana
4.
Nuju Bulan
Upacara Tingkeban atau Nuju
Bulan adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut
jugamitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh, upacara ini
dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali.
Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi
semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang
sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan di sertai doa yang
bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan
berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
5.
Mudun Lemah
Mudun
lemah, demikian orang Jawa menyebut tradisi tersebut. Sebuah tradisi yang
dilakukan orang tua untuk mengenalkan anak tercintanya yang berusia tujuh bulan
kepada bumi. Mengiringi itu, kedua orang tua berharap anaknya mampu berdiri
sendiri dalam menempuh kehidupan.
6.
Puputan
Upacara
puputan yaitu upacara yang dilaksanakan pada waktu seorang bayi terlepas
ari-arinya dari sendi usus perut atau istilahhnya coplok/puput. Maksud dan
tujuan upacara Puputan adalah untuk memberi nama pada bayi yang baru terlepas
ari-arinya.
Kebudayaan
tersebut di atas masih dilakukan oleh masyarakat Desa Astanajapura, namun telah
terpengaruh oleh kebudayaan Islam sehingga caranya pun berubah yakni dengan
dibacakan do’a kalimat toyibah.